Pages

2 komentar

Sebuah konsekuensi kehidupan

Akhir-akhir ini ada rasa yang menyeruak, dan menyelinap dalam hati membuat perasaan semakin bimbang. Ada keinginan didengarkan oleh seseorang yang luar biasa kehadirannya, ingin membagi bahagia, dan bercerita tentang duka. Ada yang hilang dari hidup ini, yang membuanya menjadi hambar. Tak ada tangis tak ada tawa, semuanya terasa biasa saja. Terasa lebih sakit dari pada sakit, dan terasa sepi dari pada sepi.

Akhirnya, keadaan yang aku takutkan sedang aku alami. Berada pada titik jenuh hidup sendirian, membuat pikiran jadi gila, hati meronta, dan kehilangan rasa. Kadang ingin menangis sejadi-jadinya, tapi tak tau sebabnya. Kadang ingin tertawa, tapi tak ada yang menemani. Marah pun tak ada yang menanggapi.

Mencoba menjadi seorang perempuan yang mandiri dan melakukan apapun sesuka hati memang bukan tipe orang seperti aku, tapi keadaan seperti saat ini yang membuat aku harus mencoba dan melakukannya. Terlalu berat, tapi tak ada hal lain yang harus aku lakukan. Menangani semua masalah sendirian, menahan sedih sendirian, tertawa bahagia sendirian, meski hambar aku coba lakukan semuanya.

Yang ku harap saat ini keadan yang lebih baik, kepercayaan diri, kekuatan agar tidak mengeluh, dan kegiatan yang menyita waktu. Mungkin semua itu bisa mengalihkan pikiran negatif dari kepalaku.

Berapa banyak pun orang yang aku telpon tiap malam tak ada seorang pun yang membuat aku merasa tenang, kecuali mereka bersikap keras dan memaksa aku untuk kuat. Untuk saat ini Aku tak tau caranya berhenti bergantung pada orang lain. But i can to change it. Tak dapat aku pungkiri aku butuh orang lain untuk mengubah dunia ini.

read more